Damaskus, Purna Warta – Draf konstitusi baru Suriah telah disetujui oleh Mohammad Al-Joulani/Al-Julani, meskipun komite penyusunnya mengklaim telah memperhatikan prinsip pemisahan kekuasaan.
Namun, draf tersebut tetap memberikan sebagian besar kekuasaan politik di negara itu kepada kepala pemerintahan transisi.
Ahmad Al-Shar’a (Abu Mohammad Al-Joulani), kepala pemerintahan sementara Suriah, menandatangani draf konstitusi baru negara itu pada hari Kamis. Konstitusi ini direncanakan akan berlaku selama periode transisi lima tahun.
Draf tersebut terdiri dari satu mukadimah dan 53 pasal yang disusun oleh sebuah dewan yang terdiri dari:
– Abdulhamid Al-Awak, profesor hukum di Universitas Mardin Artuklu, Turki
– Yasser Al-Huwaishi, profesor hukum di Universitas Damaskus
– Ismail Khalfan, profesor hukum di Universitas Aleppo
– Wari’an Kahilan, profesor hukum publik di Universitas Damaskus
– Mohammad Ridha Khalaji, profesor hukum internasional di Universitas Damaskus
– Ahmad Qarbi, peneliti hukum di Pusat Al-Hiwar.
Draf ini, yang diperkenalkan sebagai konstitusi transisi selama lima tahun di Suriah, telah ditandatangani oleh Al-Julani, yang menganggapnya sebagai babak baru dalam sejarah Suriah. Draf ini juga mendapat sambutan positif dari negara-negara pendukung Mohammad Al-Julani serta perwakilan PBB untuk urusan Suriah.
Berdasarkan draf ini, fikih Islam ditetapkan sebagai sumber hukum, dan presiden Suriah harus beragama Islam. Selain itu, bahasa Arab ditetapkan sebagai bahasa resmi negara. Draf ini juga menekankan isu-isu seperti menjaga kesatuan teritorial Suriah.
Abdulhamid Al-Awak, salah satu anggota dewan penyusun draf konstitusi baru, menegaskan bahwa sistem politik presidensial telah dipilih dalam draf ini untuk mengatasi tantangan yang ada. Ia juga menekankan bahwa prinsip pemisahan kekuasaan telah diperhatikan dalam konstitusi ini, di mana parlemen memiliki kewenangan legislatif penuh dan berhak untuk mengajukan mosi tidak percaya terhadap para menteri.
Namun, berdasarkan draf konstitusi baru Suriah, parlemen bukanlah badan yang dipilih melalui pemilu. Dua pertiga anggotanya akan ditunjuk oleh dewan yang disetujui oleh presiden, sementara sepertiga sisanya akan ditunjuk langsung oleh presiden sendiri.
Selain itu, draf konstitusi ini memberikan wewenang kepada presiden untuk menetapkan keadaan darurat melalui Dewan Keamanan Nasional, yang terdiri dari menteri luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan. Parlemen juga memiliki kewenangan untuk memperpanjang status darurat tersebut.
Meskipun beberapa pihak Arab dan Barat menyambut baik draf konstitusi ini, namun di dalam Suriah, terutama di kalangan minoritas, draf tersebut tidak mendapat dukungan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya tanda-tanda pembentukan pemerintahan yang inklusif dalam rancangan tersebut.
Di antara kelompok yang paling keras menentang draf ini adalah komunitas Kurdi. Padahal, hanya beberapa hari sebelumnya, Mazloum Abdi, komandan Pasukan Demokratik Suriah (SDF), telah mencapai kesepakatan dengan Abu Mohammad Al Julani mengenai penggabungan institusi sipil dan militer di wilayah timur Sungai Eufrat.
Dalam konteks ini, sayap politik Pasukan Demokratik Suriah (SDF) mengeluarkan pernyataan yang mengkritik draf konstitusi tersebut karena mengabaikan konsep federalisme yang diusulkan oleh komunitas Kurdi dan tidak mencantumkan bahasa Kurdi sebagai salah satu bahasa resmi Suriah. Mereka mengecam draf ini sebagai bentuk baru otoritarianisme.
Komunitas Suryani di Suriah juga menolak rancangan konstitusi tersebut, menyebutnya sebagai kedok untuk membangun kediktatoran baru di negara itu. Beberapa pemuka agama Druze juga mengkritik draf tersebut karena mengabaikan hak-hak minoritas.
Selain itu, minoritas etnis dan agama lainnya, termasuk komunitas Kristen dan Asyur di Suriah, tidak menyambut baik kesepakatan ini. Mereka menilai draf konstitusi tersebut sebagai langkah menuju pembentukan pemerintahan yang homogen dan selaras dengan ideologi Abu Muhammad Al-Julani.
Para kritikus menganggap pengabaian terhadap minoritas, ketidakjelasan dalam kebebasan pers, dan ketidakpastian ruang politik untuk aktivitas partai dan hukum sebagai kelemahan utama draf ini, yang direncanakan akan diterapkan selama lima tahun di Suriah. Mereka menilai draf ini sebagai kedok bagi munculnya kediktatoran baru di negara tersebut.