Kontroversi Pergub DKI Jakarta yang Izinkan Poligami bagi ASN

Jakarta, Purna Warta – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 2 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian. Peraturan ini memuat ketentuan yang memperbolehkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk berpoligami.

Namun, Pergub ini menuai kontroversi dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Keluarga, Alissa Wahid, menyatakan penyesalannya atas diterbitkannya Pergub yang memperbolehkan poligami bagi ASN.

“Kami juga sangat menyesalkan ya, meskipun itu diperbolehkan dalam agama Islam tetapi sebetulnya norma dalam undang-undang perkawinan kan jelas kebijakannya,” kata Alissa Wahid saat dijumpai di kantor pusat PBNU, Jakarta, Jumat (25/1/2025).

Alissa mengungkapkan bahwa norma dalam undang-undang perkawinan bertentangan dengan Pergub yang dikeluarkan oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Teguh Setyabudi.

“Kalau tiba-tiba ada kebijakan yang seperti ini, ini seperti menormalisasi (poligami),” lanjut putri sulung Presiden Abdurrahman Wahid ini.

Sebagai aktivis sosial di bidang keluarga, Alissa juga mempertanyakan peran pemerintah yang menurutnya terkesan diskriminatif dalam melindungi keluarga.

“Ini sesuatu yang menurut saya menjadi pertanyaan, negara kenapa jadi begini?” kata Alissa.

Alissa menilai Pergub ini tidak dikaji secara mendalam. Menurutnya, poligami bukan hanya soal diperbolehkan atau tidak dalam agama, tetapi juga harus mempertimbangkan kemaslahatan bangsa.

“Jadi negara hanya melihat boleh atau tidak, bukan melihat dari kemaslahatan bangsa. Padahal harusnya memikirkan kemaslahatan bangsa. Dalam bahasa Undang-Undang Dasar adil, makmur, sentosa, nah sentosanya itu tidak ada,” jelas Alissa.

Ia menambahkan bahwa menormalisasi poligami justru menghambat cita-cita membentuk bangsa yang adil, makmur, dan sentosa.

Alissa juga menegaskan bahwa dalam Islam, poligami diperbolehkan tetapi harus memenuhi berbagai pertimbangan. Ia menjelaskan tiga tingkat keputusan dalam poligami: boleh atau tidak, baik atau tidak, dan pantas atau tidak.

“Dalam agama, haram atau tidak, oh tidak, berarti boleh. Kemudian baik atau tidak, thoyib atau tidak. Tapi yang ketiga itu maruf atau tidak yakni pantas atau tidak, layak atau tidak,” tegas Alissa.

Sebagai penutup, Alissa mengusulkan agar pemerintah melindungi keluarga dengan mendidik para bapak untuk tidak berpoligami.

“Seharusnya pemerintah melindungi keluarga dengan cara mendidik para bapak untuk tidak berpoligami. Karena pada akhirnya perempuan jadi objek, jadi warga kelas dua dengan adanya normalisasi poligami,” tutup Alissa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *