Gaza, Purna Warta – Wakil pemimpin Jihad Islam Palestina mengatakan bahwa perlawanan merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa Palestina, serta menekankan bahwa perang genosida Israel di Gaza harus dihentikan terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan pembebasan tawanan Israel yang ditahan di wilayah yang diblokade itu.
Mohammad al-Hindi menyatakan dalam sebuah wawancara pada hari Sabtu bahwa tidak akan ada lagi tawanan Israel yang dibebaskan kecuali jika AS dan mediator regional memaksa Israel untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata yang menjamin penarikan penuh pasukan Israel dan penghentian agresi rezim pendudukan di Jalur Gaza.
Baca juga: 1 dari 8 Pasukan Israel di Gaza Tidak Layak Tempur Akibat Gangguan Psikologis
“Kami tidak akan menyerahkan satu pun kartu yang ada di tangan perlawanan. Syarat dari pihak perlawanan adalah: Kami siap melaksanakan kesepakatan menyeluruh—pembebasan semua tawanan yang ditahan di Gaza dengan imbalan penghentian perang dan penarikan pasukan,” ujar al-Hindi kepada Drop Site, sebuah situs berita independen yang membahas politik dan perang.
Pejabat senior Jihad Islam itu mengatakan bahwa ancaman Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa Hamas akan dieliminasi dan perlawanan Palestina di Gaza akan menyerah hanyalah fantasi.
Al-Hindi menekankan bahwa genosida rezim Israel di Gaza serta operasi pembersihan etnis yang semakin intensif di Tepi Barat mungkin tampak sebagai keberhasilan taktis bagi agenda politik Netanyahu selama kariernya, namun fokus pada 19 bulan terakhir ini menutupi bencana yang lebih besar yang mungkin akan datang.
“Perlawanan adalah bagian dari DNA rakyat Palestina—mereka tidak akan menyerah,” tegasnya.
“Akan datang suatu hari di mana Israel mungkin justru merindukan keberadaan Hamas. Kemarahan yang telah menumpuk di kalangan rakyat sangat besar dan bisa meledak kapan saja.
“Dan ini bukan hanya di kalangan rakyat Palestina, tetapi juga di antara rakyat di kawasan dan orang-orang bebas di seluruh dunia. Ada kemarahan, kemarahan yang besar. Israel tidak lagi memegang monopoli sebagai pihak korban—ia kini dipandang sebagai algojo.”
Pejabat Jihad Islam itu mengatakan sejak Israel secara sepihak menarik diri dari kesepakatan gencatan senjata dua bulan pada 18 Maret lalu, Tel Aviv telah mengajukan sejumlah tuntutan yang tidak dapat diterima, termasuk pelucutan total senjata, tidak hanya Hamas tetapi seluruh wilayah Gaza, serta pengusiran para pemimpin perlawanan Palestina dari wilayah tersebut.
“Masalah terbesar bagi Israel adalah soal senjata. Pelucutan senjata adalah hal yang tidak dapat diterima, baik oleh perlawanan maupun oleh rakyat Palestina,” kata al-Hindi. “Jika perlawanan diakhiri dengan penyerahan senjata, maka mereka (Israel) akan melaksanakan pemindahan paksa warga Gaza.”
Wakil pimpinan Jihad Islam itu mengatakan bahwa ia yakin para negosiator Hamas tidak akan menyetujui kesepakatan yang gagal menghentikan genosida di Gaza, dan ia memperkirakan bahwa Israel pada akhirnya akan dipaksa membuat konsesi.
Al-Hindi menambahkan bahwa tujuan perang Netanyahu dan ketiadaan kesepakatan mengenai gencatan senjata permanen dapat menimbulkan masalah bagi agenda regional Presiden AS Donald Trump, serta keinginannya untuk tampil sebagai sosok yang mampu mengakhiri perang-perang era Biden.
“Saya percaya bahwa tekanan internal di Israel, serta dari pemerintahan AS yang bisa memberikan tekanan, mungkin akan menghasilkan sebuah kesepakatan, meski hanya sebagian,” ujarnya. “Trump telah membuat banyak janji, baik soal menghentikan perang di Gaza maupun di Ukraina, tapi sejauh ini belum satu pun yang dipenuhi.”
Al-Hindi juga menegaskan bahwa perang genosida Israel terhadap Gaza telah membuka tabir kenyataan dari apa yang telah dialami rakyat Palestina selama 76 tahun pendudukan.
“Seluruh dunia kini menyaksikan pengorbanan-pengorbanan ini dan kembali memikirkan masalah Palestina, yang sebelumnya hampir mati, nyaris lenyap dari perhatian,” katanya.
“Saya percaya bahwa sejarah kini berbalik melawan Israel—karena keangkuhannya, kesombongannya, dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap rakyat Palestina dan seluruh kawasan. Dari sudut pandang sejarah, saya percaya bahwa Israel sedang kalah, sementara perjuangan Palestina terus maju.”
Baca juga: Kementerian Kesehatan Gaza: 1.500 Orang Buta, 4.000 Berisiko Buta Akibat Perang Israel
Militer Israel melancarkan serangan udara secara tiba-tiba di Jalur Gaza pada 18 Maret lalu, menewaskan ratusan orang, melukai banyak lainnya, dan menghancurkan kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas serta kesepakatan pertukaran tawanan setelah 19 bulan serangan brutal.
Perang Israel yang menghancurkan itu sejauh ini telah menewaskan sedikitnya 52.829 warga Palestina dan melukai 119.554 orang lainnya. Sebagian besar korban adalah wanita dan anak-anak.
Pada bulan November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Urusan Militer rezim itu, Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Tel Aviv juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perangnya di Gaza.