Peringatan Analis Turki: Otoritarianisme Erdoğan Ancam Demokrasi dan Ekonomi

Turki

Ankara, Purna Warta – Di tengah gelombang protes besar-besaran terhadap penangkapan Ekrem İmamoğlu, Wali Kota Istanbul, Menteri Dalam Negeri Turki menyebut para demonstran sebagai “perusuh” dan ancaman bagi keamanan nasional.

Menteri Dalam Negeri Ali Yerlikaya meminta oposisi, Partai Rakyat Republik (CHP), untuk menghentikan aksi protes dan memulangkan massa. Jika tidak, pemerintah akan memperlakukan para pendukung İmamoğlu sebagai perusuh yang mengganggu ketertiban umum. Namun, Özgür Özel, Ketua CHP, menyebut İmamoğlu sebagai calon kuat presiden masa depan Turki dan menilai penangkapannya sebagai langkah politis untuk menyingkirkan rival Erdoğan.

Investigasi terhadap İmamoğlu berlangsung selama berjam-jam, dengan laporan dari media pro-pemerintah Gazete Oku menyebutkan bahwa transkrip pemeriksaan mencapai 128 halaman. Saat ditanya dalam interogasi, İmamoğlu berulang kali menegaskan: “Saya tidak menganggap pertanyaan ini serius dan menolak semua tuduhan yang diajukan terhadap saya.”

Selain İmamoğlu, 125 pejabat pemerintah kota Istanbul juga ditangkap, kebanyakan dari mereka adalah penasihat dan pejabat tinggi CHP. Jaksa Istanbul menuduh mereka menerima suap, mendukung terorisme, dan mengancam keamanan nasional. İmamoğlu juga dituduh menggunakan ijazah palsu, yang menurut pemerintah dapat membatalkan gelar akademiknya dari Universitas Istanbul. Namun, tim kuasa hukumnya menegaskan bahwa semua dokumen akademik İmamoğlu sah secara hukum dan tuduhan tersebut tidak berdasar.

Sejumlah pemimpin partai oposisi mengunjungi kediaman İmamoğlu untuk bertemu keluarganya dan mengutuk tindakan pemerintah Erdoğan yang dianggap sebagai penyalahgunaan sistem peradilan. Namun, Menteri Kehakiman kemudian memerintahkan pembekuan aset perusahaan konstruksi milik İmamoğlu dan ayahnya. Pemerintah juga mengisyaratkan bahwa İmamoğlu akan segera diberhentikan dari jabatannya sebagai wali kota Istanbul.


Analis: Penangkapan İmamoğlu adalah Titik Kritis Demokrasi Turki

Analis politik Ali Bayramoğlu menilai bahwa tindakan pemerintah terhadap İmamoğlu merupakan serangan langsung terhadap demokrasi Turki.

“Tekanan AKP terhadap oposisi dan upaya menyingkirkan İmamoğlu melalui aparat hukum dan kepolisian telah memicu gelombang protes di jalanan. CHP, yang tidak memiliki banyak pilihan politik, mengajak rakyatnya untuk turun ke jalan membela demokrasi. Bentrokan keras dengan polisi telah menyebabkan sejumlah orang terluka.”

Menurut Bayramoğlu, Turki saat ini sedang berada di jalur menuju pemusnahan politik dan penyimpangan dari demokrasi. Penangkapan İmamoğlu menjadi langkah besar dalam upaya mengubah sistem politik Turki, dengan menghilangkan lawan politik secara paksa.

Dampak ekonomi dari langkah otoriter ini juga sangat besar. Bayramoğlu mencatat bahwa krisis politik ini telah menyebabkan kerugian setidaknya 50 miliar dolar AS bagi ekonomi Turki.

“Pemerintah Erdoğan kini dihadapkan pada dua pilihan: pertama, meredakan krisis dengan membebaskan İmamoğlu dan membiarkannya tetap memimpin Istanbul hingga masa jabatannya berakhir. Kedua, memperdalam krisis dengan menjebloskan İmamoğlu ke penjara dan menunjuk wali kota baru dari partai penguasa. Jika Erdoğan memilih opsi kedua, Turki akan semakin mendekati status negara darurat, mirip dengan sistem otoriter yang diterapkan Vladimir Putin di Rusia.”

Bayramoğlu memperingatkan bahwa AKP kini telah menjadi partai dengan kecenderungan totaliter, menggunakan hukum dan kepolisian sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.


“Berapa Harga yang Harus Dibayar?”

Analis politik Mustafa Karaalioğlu mempertanyakan motif di balik penangkapan İmamoğlu.

“Mengapa wali kota terbesar di Turki ditangkap saat fajar? Tidak ada alasan yang jelas. Semua ini hanya strategi politik untuk mencegahnya mencalonkan diri dalam pemilu mendatang. Inilah Turki yang kita tinggali saat ini!”

Karaalioğlu menilai bahwa operasi besar-besaran Erdoğan terhadap oposisi akan terus berlanjut, bahkan dengan skenario yang tidak terbayangkan sebelumnya.

“Ekrem İmamoğlu, seorang politisi muda yang satu-satunya ‘kesalahan’-nya adalah memenangkan pemilu, kini disingkirkan dengan apa yang bisa disebut sebagai eksekusi politik tanpa darah. Jika ini terus terjadi, apakah kita masih bisa berbicara tentang demokrasi dan pemilu yang adil di Turki?”

Ia juga menyoroti dampak buruk terhadap citra Turki di mata dunia.

“Dulu, kita mengatakan bahwa reputasi Turki di panggung internasional semakin merosot, investasi asing menjauh, dan ekonomi memburuk. Namun kini, ancaman yang lebih besar adalah hak rakyat untuk memilih yang perlahan-lahan dihapuskan. Inilah ancaman terbesar bagi masa depan Turki.”


“Noda Hitam dalam Sejarah AKP”

Analis konservatif Elif Çakar menyebut penangkapan İmamoğlu sebagai kudeta sipil.

“AKP, partai yang telah memenangkan 19 pemilu dalam 23 tahun terakhir, seharusnya tidak mencoreng namanya dengan cara seperti ini. Ini adalah noda hitam dalam sejarah demokrasi kita.”

Menurutnya, sejak İmamoğlu menang dalam pemilu lokal 2024, pemerintah Erdoğan telah berupaya menjatuhkannya melalui jalur hukum dan tekanan politik.

“Ini bukan hanya tentang intervensi politik dalam sistem peradilan. Ini adalah bukti bahwa sistem hukum dan institusi demokrasi di Turki telah runtuh. Turki kini memasuki era kudeta sipil.”


Kesimpulan: Masa Depan Demokrasi Turki Dipertaruhkan

Penangkapan Ekrem İmamoğlu dan tindakan keras terhadap oposisi menunjukkan bahwa Turki sedang berada di persimpangan jalan politik.

Jika Erdoğan terus menggunakan hukum sebagai alat politik untuk menekan lawan, Turki bisa bergerak menuju sistem otoriter penuh. Namun, jika tekanan publik dan internasional cukup besar, mungkin masih ada peluang untuk menyelamatkan demokrasi yang tersisa di negara ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *