Washington, Purna Warta – Sejumlah besar eks petinggi Angkatan Bersenjata Amerika Serikat bekerja di wilayah asing, khususnya negara-negara Arab Teluk Persia sejak tahun 2015.
Dikutip dari Washington Post, jumlah personel militer, Jenderal serta Komando purnawirawan dengan pangkat tinggi AS hampir mencapai 500 orang. Mereka menemukan sumber cuan di beberapa negara yang memiliki nama buruk dari segi pelanggaran HAM.
Seperti contoh Arab Saudi, di sini ada 15 eks Jenderal dan Komando AS yang aktif sebagai Penasihat di Kementerian Pertahanan Riyadh. Ada nama James L. Jones, eks Marinir Angkatan Laut AS dan mantan Penasihat Keamanan Nasional AS di periode Barack Obama.
Selain Jones, ada purnawirawan Jenderal bintang 4 yang terus bekerja di Arab Saudi meski ramai warta pembunuhan Jamal Khashoggi, bahkan dia juga pernah aktif di Afganistan.
“Banyak purnawirawan pangkat tinggi militer AS yang menyepakati kerja yang secara lahir kerja sama sipil di negara-negara seperti Saudi, Emirat dan lainnya. Mereka tentu memiliki pengaruh dalam pengembangan Angkatan Bersenjata dunia Arab Teluk Persia,” tulis Washington Post dalam laporannya.
Selama mereka sibuk di Teluk Persia, negara-negara Arab ini telah melakukan kejahatan HAM baik di dalam negeri maupun di luar negeri, salah satunya perang Yaman.
“Sejak dekade sebelumnya, banyak negara yang mengembangkan serta memajukan kepentingannya di Washington dengan membeli lobi-lobi, wakil, penasihat politik, analis institute dan penasihat-penasihat di bidang umum. Namun penarikan personil-personil militer karena profesionalismenya di bidang Angkatan Bersenjata dan pengaruh politik oleh negara-negara Teluk Persia, mengalami perkembangan secara signifikan selama dekade kemarin,” lapor Washington Post.
Memperkerjakan eks militer ini akan resmi dan legal jika mereka mendapatkan surat lazim dari instansi terkait di Pentagon dan Kementerian Luar Negeri AS. Namun demikian, hingga kini Gedung Putih masih berusaha untuk merahasiakannya. Untuk mendapatkan informasi ini, Washington Post menuntut penjelasan terkait hal ini sesuai dengan hukum kebebasan media, di mana menurut pernyataan surat kabar kondang Washington ini, proses untuk hal ini berjalan selama dua tahun.